Asal-Usul Pempek: Perjalanan Kuliner Legendaris dari Palembang
Pempek, makanan ikonik dari Palembang, Sumatera Selatan, memiliki sejarah yang kaya dan menarik. Mari kita telusuri secara mendalam asal muasal kuliner legendaris ini.
Legenda Apek dan Lahirnya Pempek
Kisah paling populer mengenai asal-usul pempek berasal dari abad ke-16 hingga awal abad ke-17. Menurut cerita yang berkembang di masyarakat Palembang, pempek pertama kali dibuat oleh seorang pria keturunan Tionghoa bernama Apek (juga disebut Apek atau Kiat).
Apek adalah seorang imigran dari daratan Tiongkok yang menetap di kawasan tepi Sungai Musi. Sebagai pendatang baru, ia harus mencari penghidupan di tanah baru. Melihat melimpahnya ikan segar di Sungai Musi, Apek mendapat ide untuk menciptakan hidangan berbahan dasar ikan.
Suatu hari, Apek mencoba mencampurkan daging ikan yang dihaluskan dengan tepung sagu, garam, dan air. Ia membentuk adonan tersebut menjadi berbagai bentuk kemudian merebus dan menggorengnya. Hasilnya adalah makanan yang kenyal, gurih, dan lezat.
Untuk menjual makanan kreasi barunya, Apek berkeliling kampung sambil berteriak "Pek...Apek!" atau "Mpek-Mpek!" yang merupakan panggilan untuk dirinya sendiri. Lama-kelamaan, nama makanan ini dikenal sebagai "Empek-Empek" yang kemudian menjadi "Pempek" seperti yang kita kenal sekarang.
Evolusi Historis Pempek
Meskipun kisah Apek begitu populer, para sejarawan kuliner memiliki beberapa perspektif berbeda tentang asal-usul pempek:
Pengaruh Peranakan Tionghoa
Komunitas Peranakan Tionghoa di Palembang memang memiliki pengaruh besar dalam kuliner lokal. Selama berabad-abad, mereka beradaptasi dengan bahan-bahan lokal sembari mempertahankan teknik memasak tradisional Tiongkok. Beberapa ahli kuliner percaya bahwa pempek adalah hasil akulturasi kuliner Tionghoa-Melayu, dengan teknik pengolahan ikan yang dipengaruhi oleh tradisi kuliner Tiongkok.
Penggunaan tepung sagu dalam pempek juga menunjukkan adaptasi terhadap bahan lokal, karena sagu merupakan sumber karbohidrat yang melimpah di kepulauan Nusantara, berbeda dengan tepung gandum yang lebih umum digunakan di daratan Tiongkok.
Hubungan dengan Kerajaan Sriwijaya
Beberapa sumber juga mengaitkan pempek dengan masa kejayaan Kerajaan Sriwijaya (abad ke-7 hingga ke-13). Palembang merupakan pusat kerajaan Sriwijaya yang merupakan pusat perdagangan maritim yang ramai. Kontak dengan pedagang dari berbagai penjuru dunia, termasuk Tiongkok, sangat mungkin memengaruhi perkembangan kuliner lokal.
Catatan-catatan kuno menunjukkan bahwa ikan dan sagu sudah menjadi makanan pokok di wilayah Sumatera Selatan sejak zaman kerajaan Sriwijaya. Sangat mungkin bahwa pempek merupakan evolusi dari hidangan tradisional yang telah ada jauh sebelum cerita Apek bermula.
Perkembangan pada Masa Kolonial
Pada masa kolonial Belanda (abad ke-18 hingga pertengahan abad ke-20), Palembang berkembang sebagai kota pelabuhan penting. Interaksi dengan berbagai budaya semakin intensif, termasuk dengan komunitas Tionghoa yang semakin besar. Pada periode inilah pempek mulai menjadi identitas kuliner Palembang yang semakin populer.
Dokumentasi kolonial mencatat keberadaan pedagang makanan berbahan ikan di pasar-pasar Palembang, yang sangat mungkin merujuk pada pempek dalam berbagai bentuknya. Pada masa ini pula berbagai variasi pempek mulai berkembang, menyesuaikan dengan selera masyarakat lokal.
Bahan Dasar dan Filosofi Kuliner
Pemilihan bahan dasar pempek juga mencerminkan kearifan lokal masyarakat Palembang:
Ikan sebagai Protein Utama
Sungai Musi yang menjadi urat nadi kehidupan Palembang menyediakan berlimpahnya berbagai jenis ikan. Ikan tenggiri menjadi pilihan utama karena dagingnya putih, tidak terlalu berbau amis, dan memiliki tekstur yang ideal untuk diolah menjadi pempek. Ketika ikan tenggiri langka atau harganya mahal, alternatif seperti ikan gabus atau belida digunakan.
Penggunaan ikan sebagai bahan utama juga mencerminkan adaptasi terhadap lingkungan sungai dan rawa yang mendominasi geografi Sumatera Selatan.
Tepung Sagu sebagai Pengikat
Penggunaan tepung sagu sebagai pengikat, bukan tepung terigu atau beras, menunjukkan kearifan lokal dalam memanfaatkan sumber daya alam setempat. Pohon sagu tumbuh subur di lahan basah Sumatera, dan pengolahan tepung sagu telah menjadi keterampilan tradisional masyarakat lokal.
Sagu memberikan tekstur kenyal yang menjadi ciri khas pempek. Kombinasi ikan dan sagu ini menghasilkan makanan berprotein tinggi dan berenergi yang cocok untuk masyarakat yang hidup di lingkungan air.
Cuko: Saus Pendamping yang Khas
Filosofi kuliner Palembang tercermin dalam cuko, saus pendamping pempek yang merupakan perpaduan rasa manis (gula merah), asam (cuka), pedas (cabai), dan umami (bawang putih dan ebi). Keseimbangan rasa ini mencerminkan pandangan hidup yang harmonis, sekaligus menunjukkan kemahiran lokal dalam mengolah rempah dan bumbu.
Perkembangan Variasi Pempek
Seiring berjalannya waktu, pempek mengalami diversifikasi menjadi berbagai bentuk dan isian:
Pempek Kapal Selam
Variasi paling premium ini kemungkinan berkembang pada awal abad ke-20, ketika telur ayam masih merupakan bahan yang relatif mahal. Penamaan "kapal selam" merujuk pada telur yang "tenggelam" di dalam adonan pempek, mungkin terinspirasi dari pengetahuan tentang kapal selam yang mulai dikenal pada masa itu.
Pempek Lenjer
Bentuk silinder panjang ini merupakan bentuk paling sederhana dan kemungkinan adalah bentuk original pempek. Bentuknya yang sederhana memudahkan produksi massal, menjadikannya pilihan utama pedagang pempek di masa awal.
Pempek Kulit, Keriting, dan Adaan
Variasi-variasi ini menunjukkan kreativitas dan upaya zero waste dalam kuliner tradisional. Pempek kulit memanfaatkan kulit ikan yang biasanya dibuang, sementara bentuk keriting dan adaan menawarkan tekstur yang berbeda untuk pengalaman menyantap yang lebih beragam.
Pempek sebagai Identitas Kultural
Pempek telah melampaui statusnya sebagai sekadar makanan. Ia telah menjadi simbol identitas kultural Palembang dan Sumatera Selatan. Makanan ini hadir dalam berbagai ritual dan perayaan masyarakat Palembang:
Ritual Adat dan Perayaan
 |
https://youtu.be/dZR86wmQLVA?si=3eULPvlgcaA7CxZ3 |
Dalam upacara adat seperti pernikahan atau khitanan, pempek sering disajikan sebagai hidangan kehormatan. Pada perayaan Idul Fitri, pempek menjadi hidangan wajib di meja makan keluarga Palembang, menunjukkan posisinya yang istimewa dalam kultur lokal.
Ekonomi Kuliner
Pempek juga menjadi sektor ekonomi penting bagi Palembang. Sejak dahulu hingga kini, banyak keluarga menggantungkan pendapatan dari produksi dan penjualan pempek. Dari pedagang keliling hingga restoran besar, pempek telah menciptakan lapangan kerja dan menggerakkan ekonomi lokal.
Penyebaran Pempek ke Luar Palembang
Era Transmigrasi dan Urbanisasi
Penyebaran pempek ke seluruh Indonesia dipercepat oleh program transmigrasi dan urbanisasi di era pasca-kemerdekaan. Orang-orang Palembang yang pindah ke berbagai wilayah Indonesia membawa serta tradisi kuliner mereka, termasuk resep pempek yang kemudian beradaptasi dengan selera lokal daerah baru.
Era Modern: Pempek sebagai Kuliner Nasional
Sejak tahun 1980-an, pempek semakin dikenal secara nasional. Kemajuan transportasi dan komunikasi memungkinkan pempek dikirim ke berbagai daerah, sementara media massa memperkenalkan kuliner ini ke audiens yang lebih luas.
Hari ini, pempek bukan lagi sekadar makanan Palembang, tetapi telah menjadi bagian dari kuliner nasional Indonesia yang dikenal hingga mancanegara.
Kesimpulan
Asal-usul pempek adalah cerminan dari perjalanan kuliner yang kompleks, menampilkan perpaduan budaya, adaptasi terhadap lingkungan lokal, dan kreativitas masyarakat Palembang. Dari pedagang Tionghoa bernama Apek hingga menjadi ikon kuliner nasional, pempek menunjukkan bagaimana makanan dapat menjadi jendela untuk memahami sejarah, geografi, dan identitas kultural sebuah masyarakat.
Pelestarian dan dokumentasi cerita di balik pempek bukan sekadar upaya menjaga warisan kuliner, tetapi juga melestarikan kearifan lokal yang terkandung dalam setiap gigitan makanan ikonik ini.
Komentar
Posting Komentar